Rabu, 09 September 2009

Kontroversi Argumen tentang Cocacola di dunia

Berikut pendapat orang yang begitu suka dengan minuman bersoda legendaris Cococola. Narasumber menganggap bahwa Cocacola tidaklah berbahaya bagi dirinya... Begitukah?

Sumber: Cocacola, Raksasa yang butuh pertolongan!

And some say that “Coca Cola” is bad for you right? Well, not for me.
As I continue my job hunting in my new adopted little country of New Zealand; a vacant position with Coca Cola as the Regional Sales Manager could be my saving grace!
I mentioned yesterday how the two jobs I have been awarded pay very, very small wages. Actually the wages were so small they were comparable to the wages I earnt as a teenager working at McDonalds back in my homeland Australia! (Amazing but true!)
Oh, and if you’re thinking the wages here might be comparable to the cost of living – then your wrong. The cost of housing (purchase and renting) is astronomical compared to the local wage and so is the likes of regular gasoline and other household items. It seems the reason for the high cost of living, is that many overseas investors (from the UK and USA) have fallen in love with this little tucked away place in New Zealand and either come over here to live (mostly retiree’s, bringing over foreign earnings) or they simply visit and invest here for the future. So the US dollar and Pound are enabling these out of towners to gobble up nice chunks of realestate (beautiful water front views surround most of this part of New Zealand) – but the result means higher property prices (due to demand); while local wages and business investment remains low.
Anyway, back to the big giant – Coca Cola.
I heard back from them yesterday saying I have been shortlisted along with 7 others out of a few hundred job applications. I am hoping to have an interview next week, I’m trying not to be ‘over confident’ but I do enjoy interviews, and I feel if I get the chance to meet with them – I should win the role.
The rewards look to be very good. On top of a nice local wage with sales commission built in, I also get a brand new company vehicle, cell phone and new laptop pc. All very handy when setting up shop in a new town.
So it seems while Coca Cola may have added to my waist line and rotted my teeth over my life of 29 years – they just may come back and save me in the end if I get this nice little job!
(Will hopefully have an update on the job outcome next week some time! - will let you know)

Dan berikut ini pendapat yang berbeda....
Sumber: Cocacola, sebutir peluru dan sebutir nasi?

Ternyata, kita adalah mahluk yang lucu, kocak, dengan pemikiran yang agak gila. Masih jelas dalam ingatan saya sebuah spanduk besar bertuliskan ”Food for Irak” di jalan masuk menuju Perumahan Sanggar Hurip atau di sebuah jalan besar di kawasan Padalarang. Saat itu saya hanya tertegun. Kenapa harus Irak? Kenapa tidak Food for anak tetangga anda yang kelaparan? Atau fakir miskin yang hanya bisa meminta-minta? Atau Food for famili anda yang tidak seberhasil anda? Ini adalah sebuah cerita satir ketika kita hanya peduli orang yang jauh di mata, jauh di dompet dan hati. (yang dekat di dompet biasanya copet dan yang dekat di hati biasanya pacar).
Kita hanya peduli pada mereka yang belum jelas saudara siapa. Hanya karena mereka satu teologi kita anggap saudara. Sekarang, dalam sebuah kampus saya melihat sebuah ajakan untuk memboikot produk-produk yang ikut membantu mendanai agresi Israel ke Palestina. Ada beberapa produk yang di pampang. salah satunya Coca Cola. Memang ini bukan jenis minuman yang sering saya minum, namun saya berkepentingan untuk merekonstruksi kembali pemikiran untuk memboikot produk-produk yang dianggap penyandang dana perang tersebut.
Saya berdiri bukan sebagai duta coca cola atau produk-produk yang dicekal. Tapi saya berdiri sebagai seorang biasa, yang khawatir ketika produk-produk itu mulai kita boikot dan perusahaan-perusahaan itu mulai menutup diri dari kita, kemudian terjadi PHK massal. Lalu siapa yang akan memberi makan keluarga mereka? Apakah mereka yang memboikot itu sanggup memperkerjakan jutaan pengangguran sementara mencari lahan pekerjaan adalah kesulitan tersendiri saat ini. Ironi. Di satu sisi pencekalan terus dilakukan terhadap produk-produk Amerika dan sekutunya, dan di sisi lain mereka yang mengkritik lupa bahwa saat itu mereka memakai pakaian bermerk Nike. Atau mereka juga lupa kakak mereka bekerja di restoran cepat saji McDonald dan mereka juga lupa masih memakai teknologi Microsoft untuk menunjang CPU mereka. Sementara mereka berteriak layaknya negeri mereka adalah negeri yang lebih baik. Lebih baikkah kita ketika kita melakukan korupsi dan memakan jatah saudara kita sendiri? Atau budaya kita sebegai negeri timur? Budaya asli kita adalah animisme dan dinamisme., budaya cocok tanam, budaya ramah. Kemudian kita disusupi budaya dari persia lalu cina, dan belanda, yang mewakili timur dan barat.
Budaya asli kita?? Itu masih gelap. Kembali pada masalah pemboikotan tadi, rasanya kita harus berpikir kembali. Benar, bahwa setiap orang punya kebencian terhadap hal tertentu seperti saya yang jijik dan muak akan Jepang. Tapi saya tidak begitu saja memboikot produk-produk Jepang. Saya berpikir yang kerja toh orang-orang Indonesia sendiri. Kalau misalnya perusahaan tersebut (Coca cola, Carrefour, McDonald dll –red) tutup dari Indonesia, bisa dijamin negeri kita bukan lagi negeri maritim atau negeri hukum, tapi negeri penganggur. Catatan ini bukan hanya untuk dibaca selintas, melainkan dicoba untuk direnungkan sebelum kita benar-benar mengambil langkah lanjut. Benar, Coca cola dapat menjadi peluru untuk warga Palestine, tapi ia juga dapat menjadi sebungkus nasi bagi lainnya.
R. Lupus Evans
Penulis adalah seorang Liverpudlian, Profesional Tarot Reader & Advicer, freelance writer, pengidap insomnia, anggota Forum Sastra Bandung dan penggagas diskusi terbuka filsafat STIKOM 2003 – 2005.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar